Sabtu, 09 Maret 2013

Sepucuk bacaan untuk kau pahami

Agaknya cuaca kali ini seperti mengulang kisah-kisah kemarin. Enggan mengguratkan keindahan senja, condong menitikkan hujan yg amat deras, dan hirup kehangatan yg berganti oleh dinginnya sore. Aku duduk diantara sejuta pikiran dan kebingungan yang baru saja bertamu. Mereka sepertinya tau, kali ini layaklah mereka aku selesaikan satu demi satu setelah rutinitasku kujalankan. Sabar, gumamku. Kalian akan terjamah olehku dalam waktu senggangku saat ini. Mari kujabat kehendak kalian dengan baik.

Dan tak kusangka, soreku kali ini harus sedikit merembes dinginnya begitu aku menjabatmu dalam fikirku. Lama sudah. Meski hanya dalam dimensi khayalan? entah. Mungkin karena sibuknya waktu memutarku dalam rutinitas yang mesti kujalani, membuatmu sedikit terabaikan. Sedikit? ya itu kata yang tepat. Sesuai dengan kadarnya. Muncullah keinginanku untuk mencari kabarmu. Sebatas itu. Untunglah, social media yang semakin canggih mampu membantuku. Dan alhasil, aku menemukanmu. Maksudnya, menemukan kabar kamu di salah satu socmed yang kugunakan. Lincahlah aku melirik satu demi satu uraian yang kau ukir disetiap waktumu.

Rindu. Mungkinkah? Aku lebih menamakannya dengan kata "penasaran" . Ya, penasaran ingin tau kamu seperti apa... sekarang. Masihkah sosokmu layak kutangguhkan dalam benakku seperti dulu, disaat aku mengenakan kata "kita" disetiap percakapan? Oh, biarkan aku bergumam sejenak. Menelaah setiap kehendak jiwa yang tersemai dalam diri seumuran kita. Tapi, sepertinya aku harus buru-buru membuyarkannya. Berubahkah kau? Kuharap demikian. Berubah menjadi dewasa. Tak seperti seusiamu yang masih terus mengejar rasa keingintahuanmu tanpa menyelipkan kata waspada dalam setiap tindak lakunya. Dan kaupun harus tau, aku belajar untuk itu. Berusaha untuk membenamkan semua keingintahuanku akan rasa yang timbul diusia saat ini.

Bukannya aku ingin disanjung atas apa yang aku hendak jalani. Bukan pula ingin dicecar dengan kalimat "kamu terlalu berlebihan. Jalani saja seperti air yang mengalir". Tapi, keadaanlah yang mendewasakan semua apa yang kufikirkan. Bahwa tak sepatutnya aku harus menjawab segala rasa keingintahuanku dengan mencobanya. Hidup memang mesti dinikmati, karena masa tak akan mengulang untuk kedua kalinya, katamu. Tapi, agaknya aku meragukan. Mestikah semua itu harus kunikmati? Nampaknya tidak.

Kau kemudian menemuiku. Dalam sebait pesan yang kau kirim untuk kubaca dan kupahami. Aku bingung. Menemuimu? Aku belum siap. Bukan tak siap melihat sosokmu yang begitu membuatku penasaran, tetapi... selayaknya kau tau. Kita belum pantas, untuk bertemu. Berdua, sebab ada sekat yang kita yakini bersama. Aku bukannya mencari alasan, tapi itu yang perlu kau pahami. Akupun tau, ternyata kamu masih menjadikan aku sebagai ratu pengendali fikiranmu. Begitu juga denganku yang akhirnya sadar kalau kamu memang layak untuk kuperjuangkan menjadi Raja di istana hatiku. Dengan sebab rasa yang sama, membuat kenyataan tak semestinya mengawali perjumpaan kita terlebih dahulu. Aku tak ingin, nantinya setelah kita berjumpa. Akan ada sebuah status dengan sebuah hubungan yang dilazimkan oleh masa kita, ataupun hanya sebuah hubungan tanpa status yang pasti. Apapun itu.

Kuharap kau mengerti, mengapa aku lebih memilih untuk menyematkan kata "nanti saja" di balasan pesanmu. Ada sebait doa yang terselip dibalik kata "nanti saja" yang kukirimkan itu. Nanti saja, bila Tuhan telah mengizinkan untuk kita berawal dari titik yang sama dan berjalan menghadapi segala bentuk rintangan dan ujian tanpa terpisahkan. Kolot?bukan. Namun, melihat realita yang sepertinya membuatku takutlah yang lebih tepat. Berlebihan? oh tidak. Itu sudah sewajarnya. Iya, sudah sewajarnya kulakukan demi menyelamatkanmu. Menyelamatkan dirimu seorang, yang kukagumi dalam diamku. Atas apa yang terjadi saat ini, membuatku berfikir dewasa. Bahwa segala sesuatunya yang berkaitan dengan "aku menyayangimu" tak perlu diimplementasikan ke dimensi yang belum bisa diwujudkan. Aku menyayangimu, ya sebatas itu. Tak perlu kita saling memanggil dalam indahnya kata-kata sayang, menggenggam tangan, hingga melakukan yang tidak semestinya. Begitulah caraku menyayangimu. Mungkin sedikit berbeda dengan caraku dulu, namun ini nampaknya baik untuk kita.

Jalanlah kita masing-masing terlebih dahulu. Kau dengan harapanmu, dan aku dengan impianku sendiri. Cukup mengawetkan komitmen kita untuk saling menjaga kepercayaan masing-masing hingga melepasnya dalam bentuk kebersamaan. Bila kau rindu, dekaplah aku dalam hangatnya doa yang kau panjatkan pada Tuhan. Akupun akan melakukan hal yang sama. Sampai akhirnya waktu mengantarkan kita pada sebuah tempat untuk kita berteduh bersama. Tanpa perlu memikirkan kita pantas melakukannya atau tidak. Karena telah melegalkan bentuk kasih sayang yang semestinya kita lakukan. Kuharap kau mampu bertahan. Sabarlah sedikit, sayang. Jika kau mampu bersabar untuk itu, artinya kau telah memelukku dalam sayang yang telah kuguratkan dengan cara yang berbeda.