Jumat, 22 Februari 2013

Menunggu waktu menjawab "kau"

Tak pernahkah kau membayangkan bagaimana rasanya menunggu? Atauhkah kau mungkin pernah merasakan lelahnya menunggu? Begitupun dengan aku. Yang selalu saja menunggu sesuatu yang tak pasti. Menunggu sosoknya kembali lagi disampingku. Kau takkan mungkin dan takka pernah memikirkan lelahnya aku menunggu. Aku mencoba pergi dari waktu yang tidak jelas ini. Namun baru selangkah, bayanganmu kembali menarik ulur hatiku. Hingga aku putuskan tuk mendudukkan kembali hati dan fikiranku di tempat ini.

Detik demi detik hanyalah penantian yang sia-sia. Entah sudah berapa tetes buliran airmata ini keluar. Entah sudah berapa banyak yang menyuruhku tuk pergi dari sini. Namun ku abaikan begitu saja. Entah sudah bagaimana lagi sakitnya luka yang tak kunjung kering ini. Bila saja aku dapat berbincang dengan waktu, sekaligus memohon padanya, aku akan berkata:
"Waktu, untuk berapa lama lagi aku harus disini? Haruskah aku menghentikan semua aktivitasku saat ini kemudian bergegas pergi? Ataukah aku terus menanti hingga senja tiba dan dia datang untukku?

Diary torehan luka..darimu

Aku selalu terjatuh, namun tak pernah lupa untuk bangkit. Namun ketika jatuh saat sosokmu ada, disampingku dan menatapku dalam-dalam, juga senyum yang takpernah lepas dari bibirmu. Aku lupa jikalau aku harus bangkit.

Menikmati sakitnya luka karena jatuh dan merasa ditangkap olehmu. Namun kenyataannya, itu hanyalah bayang semu yang mewakilimu disini. Kemudian kau pergi, meniadakan semua yang pernah ada, dan tentu saja... kau berhasil memecahkan tembok pertahananku. Memecahkan kumpulan airmataku. Menyakitkan...

Aku menangis keras layaknya anak kecil yang terjatuh ketika mengayuh sepedanya. Namun, luka yang kau torehkan cukup menyakitkan. Terjatuh dalam jurang yang begitu dalam, sakit, dan begitu menyedihkan. Semua itu kurasakan, sendiri...

Namun, aku sadar. Waktu takkan pernah berhenti untuk menungguku yang masih saja terpuruk dalam kesakitanku ini. Untuk itu, aku bersihkan luka yang menyayat ini, dan begitu selesai aku bersihkan, aku menutup pintu hatiku. Berharap tak ada lagi yang masuk memporak-porandakannya begitu saja tanpa membersihkannya sebelum pergi.

Rabu, 20 Februari 2013

I miss the moment when Rainy come here

Hujan...
Aku selalu menyukainya. Bila waktu kecil aku menikmati hujan karena setelah hujan akan ada pelangi yang keindahannya akan nampak. Kini, aku selalu menikmati hujan bila turun, bahkan selalu menunggu rintik-rintik air hujan itu. Karena disaat itulah aku kembali mengingatmu, juga sembari membasuh rinduku.
Ingatanku tak akan pernah hilang, dan takkan pernah lupa jikalau aku dan kamu yang dulunya menjadi "kita" pernah menikmati hujan bersama. Disaat itu, aku meninggalkan pekerjaanku sebagai penyambut senja, karenamu. Karena aku berfikir, menikmati hujan bersamamu itu momen yang langka, bahkan hanya bisa kurasakan saat itu juga. Hujan juga tidak bisa memastikannya. Dan ternyata itu benar.
Meski hanya sekali saja, itu sudah cukup mengambil tempat difikiranku. Hingga memaksa otakku untuk terus mengingatnya. Sayangnya,kini... Aku kembali menjadi penyambut senja dan menjadi pengintip hujan dibalik jendela. Semenjak kamu tak ada, keinginanku untuk menikmati hujan tidak ada lagi.

Halte Penantian

Aku selalu berdiri disini, mematung, hanya sekali melirik kanan-kiri untuk memastiksn kehadiran sosokmu, dan itu hanyalah sia-sia bagiku. Detik terus berganti ke detik berikutnya, dan berharap di detik kesekian kalinya aku menghitung, kau telah berdiri tegap disini. Tentu saja sosok nyatamu yang ku maksud. Bukan bayang semu kamu yang selalu saja hadir di setiap malam pengantar tidurku. Seolah-olah mimpi itu terasa nyata, namun itu tetaplah mimpi. Hujan mungkin saja sudah bosan melihatku disini sembari merintikkan tetesannya untuk menjadi teman buatku. Semoga saja lelah tidak menghampiriku lebih dulu. Bila itu terjadi, aku memastikan diriku takkan lagi disini. Ku harap kau takkan pernah melupakan janjimu untuk menjemputku di halte penantain yang membuatku tak nyaman ini. Pastinya setelah kau ditegur dengan lembut ataukah tangan Tuhan yang memegang relungmu dan mempertemukan kita (lagi)...

Kepergian Seorang Guru layaknya Ayah.

Namanya Bapak Abdul Halim Syam. Tapi kami lebih sering menyapanya dengan panggilan "Pak Halim". Beliau lahir pada tanggal 2 Mei 39tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1974. Bila kita melihat sepintas, yang terbayang dari sosok beliau adalah sosok yang tegas,keras, kejam, dan pokoknya apapun yang selama ini mereka fikirkan tentang beliau. Awalnya kami pun berfikiran yang sama. Namun semuanya berubah ketika beliau masuk dikelas kami untuk pertama kalinya.

Pertama kali beliau masuk untuk mengajar di kelas kami, kami begitu gugup, takut jikalau apa yang selama ini kami fikirkan benar-benar terjadi. Nyatanya, perangai beliau berbeda 180 derajat dari apa yang kami gambarkan di fikiran kami masing-masing tentang beliau. Beliau begitu baik, bahkan begitu heran melihat kami yang pada waktu itu menundukkan muka. Maka berkatalah beliau "santai saja kalau di dalam kelas. Saya tidak makan orang".

Waktu terus saja berjalan. Dan kami pun menikmati betapa enaknya kami diajar oleh beliau. Entah karena materi yang beliau sampaikan adalah "sosiologi" sehingga cara mengajarnya seperti melakukan pendekatan, ataukan pembawaan dari beliau yang nyatanya demikian. Cara mengajarnya pun selalu disisipkan gurauan atau hanya sekedar ejekan yang menurut kami lucu. Tak jarang beliau memberikan kami nasehat dan motivasi layaknya seorang ayah pada anaknya. Terkadang, nasehatnya itu disiratkan oleh apa yang beliau alami di masa seperti kami. Begitu juga petuah-petuah yang baik agar kami tidak salah langkah dalam menjalani kehidupan kami sekarang dan nantinya. Like a father. teach and keep us always.

Dalamnya rasa sayang beliau pada kami, begitu juga sebaliknya membuat kami merasakan bahwa separuh nafas kami juga karena beliau.Kami begitu dekat. Tak sedikit yang mengatakan kepada kami jikalau dengan kami-lah beliau begitu. Bahkan ada yang takpercaya begitu kami menceritakan betapa nyamannya kami bila beliau ada ditengah-tengah kami.

Sehebat apapun manusia, ia akan menyerah juga dititik terakhirnya. Begitu pula dengan beliau. Karena sakit yang menggerogotinya sehingga beliau harus menyerah pada sebuah takdir. Takdir dimana kami harus percaya bahwa segala sesuatu yang diciptakan akan kembali pada sang penciptanya. Kami seperti tak percaya dengan apa yang terjadi sebulan yang lalu, tepatnya 20 Januari 2013 yang lalu. Menghembuskan nafasnya untuk terakhir kalinya membuat luka yang begitu menyedihkan bagi kami. Kami telah kehilangan. Ya, kehilangan beliau. Beliau yang merupakan pendidik kami, ayah kami, juga sahabat kami. Tawa dan gurauan canda yang beliau semburkan pada kami tinggallah guratan senyum simpul yang diujungnya tersimpan memoar kesedihan. Semuanya terjadi begitu cepat. Ketidakpercayaan kami pada apa yang terjadi begitu memberi tanda tanya besar atas kepergiannya. Bukannya kami melawan takdir. Hanya saja, 5hari sebelum beliau pergi, tepatnya di hari Selasa, kami masih sempat melihat riak tawanya dan tetap menyuguhkan kami nasehat dalam kebata-bataannya. Beliau telah pergi. Terkuburlah jasadnya yang begitu kuat, tak pernah menyerah, dan pribadi yang selalu menegakkan kebenaran.

Hujan hari ini layaknya sebulan yang lalu. Aku sempat berfikir dan bertanya dalam hati. Mungkinkah deras hujan hari ini pertanda langit masih melihat kesedihan yang mendalam dari hati kami? Aku tak bisa menjawabnya. Tampaknya tetes demi tetes yang turun begitu derasnya dari langit seperti mewakili airmata kami yang tak ingin dinampakkan. Kami tak ingin, beliau disana melihat kami bersedih atas kepergiannya. Bukankah ratapan dan belum bisa melepaskan bisa membuat beliau disana merasa tak tenang?

Assalamu alaikum Yaa Ahlal Kubur, akan kami ucapkan begitu kami tiba di tempat terletaknya jasadmu, kuburan. Akan kami lantunkan terus Surah Annur, ayat 35, yang merupakan ayat kesukaanmu, pak. Semoga Engkau disana tenang di tempat yang selayaknya kau tempati atas apa yang Engkau lakukan pada kami dengan begitu baik. Dan jangan lupa sampaikan keinginanmu pada sang Pencipta bahwa Engkau ingin melihat kami sukses. Begitu pula dengan keluargamu. Semoga ketabahan dan ketegaran selalu mengiringi langkahnya tanpamu.





20 Februari 2013

Tulisan seorang murid dan anak atas memoar kehilangan guru dan sosok ayahnya.

Senin, 18 Februari 2013

Terguyur hujan kenangan tanpamu

Diantara senyap hujan yang terus mengguyur. Membasahi kenangan yang tertutup debu. Aku masih duduk dalam kenyamananku merindukanmu. Merindukanmu? Oh iya aku merindukanmu. Dalam tenangku, tanpa tergesa-gesa mendesak waktu untuk mempertemukan kita. Menikmati alunan melodi sepi yang menyusuri langkah demi langkah perjalananku, Menari dibawah hujan diikuti nyanyian damai yang menghujam ingatanku. Mengolah satu demi satu kata yang terbersit dalam ingatanku tentang hujan. Hujan yang menghiasi kisah kita... dulu.

Masihkah kau ingat bagaimana kita menyikapi tetes demi tetes air hujan yang turun? Bagaimana tak berpengaruhnya dingin yang berusaha membekukan kisah kita. Namun kau membuatnya begitu hangat. Meski bukan dalam artian dekapan yang kau simpulkan padaku secara langsung, namun aku tau jikalau hangatnya karena doamu mendekap banyak jawaban yang membuatku sedikit resah. Kau juga mengajarkanku bagaimana menghitung gemercik air hujan yang turun hingga saatnya kau datang dan aku berhasil melakukannya. 

Ingatanku juga masih basah akan kebersamaan kita melewati waktu dengan hujan yang menyusup dalam celah-celah. Kita tak menghentikan laju hanya karena hujan, tetapi terus melanjutkannya karena pada akhirnya aku baru sadar jikalau basahnya diri dalam hujan itu tak akan mengeringkannya dalam ingatan. Jadilah kita basah kuyup dalam kenyamanan hujan yang tersaji bersama dengan rindu yang tak henti mengalir.

Namun kini semuanya hanyalah kenangan. Hujannya masih ada disini, mengawetkan bait demi bait kisah yang telah usai namun rasanya masih kunjung dapat dikecap. Kamu telah pergi, meninggalkan jejak injakan luka yang belum hilang.