Rabu, 20 Februari 2013

Kepergian Seorang Guru layaknya Ayah.

Namanya Bapak Abdul Halim Syam. Tapi kami lebih sering menyapanya dengan panggilan "Pak Halim". Beliau lahir pada tanggal 2 Mei 39tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1974. Bila kita melihat sepintas, yang terbayang dari sosok beliau adalah sosok yang tegas,keras, kejam, dan pokoknya apapun yang selama ini mereka fikirkan tentang beliau. Awalnya kami pun berfikiran yang sama. Namun semuanya berubah ketika beliau masuk dikelas kami untuk pertama kalinya.

Pertama kali beliau masuk untuk mengajar di kelas kami, kami begitu gugup, takut jikalau apa yang selama ini kami fikirkan benar-benar terjadi. Nyatanya, perangai beliau berbeda 180 derajat dari apa yang kami gambarkan di fikiran kami masing-masing tentang beliau. Beliau begitu baik, bahkan begitu heran melihat kami yang pada waktu itu menundukkan muka. Maka berkatalah beliau "santai saja kalau di dalam kelas. Saya tidak makan orang".

Waktu terus saja berjalan. Dan kami pun menikmati betapa enaknya kami diajar oleh beliau. Entah karena materi yang beliau sampaikan adalah "sosiologi" sehingga cara mengajarnya seperti melakukan pendekatan, ataukan pembawaan dari beliau yang nyatanya demikian. Cara mengajarnya pun selalu disisipkan gurauan atau hanya sekedar ejekan yang menurut kami lucu. Tak jarang beliau memberikan kami nasehat dan motivasi layaknya seorang ayah pada anaknya. Terkadang, nasehatnya itu disiratkan oleh apa yang beliau alami di masa seperti kami. Begitu juga petuah-petuah yang baik agar kami tidak salah langkah dalam menjalani kehidupan kami sekarang dan nantinya. Like a father. teach and keep us always.

Dalamnya rasa sayang beliau pada kami, begitu juga sebaliknya membuat kami merasakan bahwa separuh nafas kami juga karena beliau.Kami begitu dekat. Tak sedikit yang mengatakan kepada kami jikalau dengan kami-lah beliau begitu. Bahkan ada yang takpercaya begitu kami menceritakan betapa nyamannya kami bila beliau ada ditengah-tengah kami.

Sehebat apapun manusia, ia akan menyerah juga dititik terakhirnya. Begitu pula dengan beliau. Karena sakit yang menggerogotinya sehingga beliau harus menyerah pada sebuah takdir. Takdir dimana kami harus percaya bahwa segala sesuatu yang diciptakan akan kembali pada sang penciptanya. Kami seperti tak percaya dengan apa yang terjadi sebulan yang lalu, tepatnya 20 Januari 2013 yang lalu. Menghembuskan nafasnya untuk terakhir kalinya membuat luka yang begitu menyedihkan bagi kami. Kami telah kehilangan. Ya, kehilangan beliau. Beliau yang merupakan pendidik kami, ayah kami, juga sahabat kami. Tawa dan gurauan canda yang beliau semburkan pada kami tinggallah guratan senyum simpul yang diujungnya tersimpan memoar kesedihan. Semuanya terjadi begitu cepat. Ketidakpercayaan kami pada apa yang terjadi begitu memberi tanda tanya besar atas kepergiannya. Bukannya kami melawan takdir. Hanya saja, 5hari sebelum beliau pergi, tepatnya di hari Selasa, kami masih sempat melihat riak tawanya dan tetap menyuguhkan kami nasehat dalam kebata-bataannya. Beliau telah pergi. Terkuburlah jasadnya yang begitu kuat, tak pernah menyerah, dan pribadi yang selalu menegakkan kebenaran.

Hujan hari ini layaknya sebulan yang lalu. Aku sempat berfikir dan bertanya dalam hati. Mungkinkah deras hujan hari ini pertanda langit masih melihat kesedihan yang mendalam dari hati kami? Aku tak bisa menjawabnya. Tampaknya tetes demi tetes yang turun begitu derasnya dari langit seperti mewakili airmata kami yang tak ingin dinampakkan. Kami tak ingin, beliau disana melihat kami bersedih atas kepergiannya. Bukankah ratapan dan belum bisa melepaskan bisa membuat beliau disana merasa tak tenang?

Assalamu alaikum Yaa Ahlal Kubur, akan kami ucapkan begitu kami tiba di tempat terletaknya jasadmu, kuburan. Akan kami lantunkan terus Surah Annur, ayat 35, yang merupakan ayat kesukaanmu, pak. Semoga Engkau disana tenang di tempat yang selayaknya kau tempati atas apa yang Engkau lakukan pada kami dengan begitu baik. Dan jangan lupa sampaikan keinginanmu pada sang Pencipta bahwa Engkau ingin melihat kami sukses. Begitu pula dengan keluargamu. Semoga ketabahan dan ketegaran selalu mengiringi langkahnya tanpamu.





20 Februari 2013

Tulisan seorang murid dan anak atas memoar kehilangan guru dan sosok ayahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar