Minggu, 21 Juli 2013

Kamera kecil

Dua pekan terakhir, dia selalu dalam genggamanmu. Tak pernah lepas. Sekilas nampak oleh mataku oleh benda yang begitu menghidupkan jiwamu. Sederhana, layak pemiliknya. Berbagai jenis yg telah hadir tak menggantikan posisinya dari tanganmu. Layaknya dia pemilik separuh dari kisah hidupmu. Praduga tak jelas pun tiada henti bertautan dalam dimensi benakku. Apa mungkin benda itu yang paling mengerti kamu?

Kamu mengutip semua hal yang terlihat di sudut matamu. Tanpa terkecuali. Ingatkah waktu itu? Kamu telah berhasil memotret senyumku. Ya, senyum yang ku pampang dengan manisnya di lekukan bibirku tatkala kamu hendak mengutip gambar diriku (namun bukan seorang diri). Setelahnya itu, kamu tak memperkenankan aku tuk melihat hasil jepretanmu manakala aku bertanya "bagaimana?bagus tidak" namun kamu hanya diam lalu pergi tuk mengutip yang lain. Kejadian itu terus berulang hingga akhirnya aku lelah dengan semua inginku tuk melihat segala yang telah kau potret selama ini. Ku beranikan saja tuk bertanya lagi, namun agaknya kamu terlihat lain. "Nanti saja kuperlihatkan setelah kupindahkan ke FD", ucapmu singkat. Aku pun diam.

Lagi lagi, kamu bersama dengan dia, kamera kecilmu itu. Aku sedikit cemburu. Dengannya, kamu merasa hidup namun tidak dengan aku. Berandai-andai adalah hal favorit yang sering kulakukan. Dan kamu tau apa yang kuandaikan darimu? Bila saja aku adalah kamera kecil itu, yang denganku kamu temukan separuh jiwamu. Denganku, kamu mengutip sisi demi sisi hal yang tertangkap oleh pandanganmu. Oh... Cuma pengandaian semata, tak terimplementasikan dalam ruang nyata sesungguhnya.

Tapi aku cukup senang aksimu dengannya akhir-akhir ini. Secara tidak langsung, dia ingin agar kamu dan aku sering bertemu. Iya kan?:') Aduh lagi-lagi imajinasiku berjalan... Oh, iya akhir-akhir ini juga kan kamu dan aku dekat lagi. Padahal masih serasa baru kemarin pengen menjauh dari kamu, kan? Untung saja baru niat dan proses yang baru sekitar 15%... Kalo udah 100%? Aku ga bakal bisa ngerasain nyamannya berada diantara kamu dan dia; si kamera kecil itu. Kamu mengutip mereka, pun juga aku didalamnya. Kamu iseng mengambil gambar tanpa diketahui yang lain, termasuk aku. Sebenarnya aku tau kok, tapi aku memilih untuk pura-pura tak tau kalo ada yang mengutip aktivitasku dalam bentuk gambar secara diam-diam. Kamu juga menyuruh salah satu diantara mereka untuk mengambil gambar kita(aku,kamu,dan yang lain). Sengaja aku memasang badan tegap berdiri disamping kamu. Mengapa? Biar aku bisa meng-crop dan hanya menyisakan kamu tanpa siapapun disamping kamu, juga dengan aku; dalam gambar itu. Bila kamu ahli dalam mengcapture, akulah ahli dalam hal crop-mengcropnya. Hebatnya, aksiku ini takterdeteksi olehmu. Yah, tentu saja. Ada beberapa gambar dimana aku (tepat) berada disamping kamu.

Sayangnya, aku belum sempat mengambil beberapa file itu setelah sebuah tragedi kecil namun mengguncang kamu dan aku terjadi. Bagaimana caraku mengambilnya? Melalui adikmu? Modusnya berada di tingkatan mana?Yaampun...
Aku tak seperti dia; kamera kecilmu, yang menguasai sebagian besar waktumu tuk selalu berada dalam pengawasan. Bukan pula yang selalu berada dalam genggamanmu. Juga bukanlah menjadi alasan untukmu tersenyum&tertawa bahagia bila menemukan hal yang ganjil untuk kamu kutip. Dia memang hebat. Mampu mengutip sosok demi sosok yang telah menopengkan senyum diatas luka yang tertahan dan tak mampu ditumpahkan kepada sang penyayat luka itu. Dia sama sepertimu, tak mampu mendeteksi seberapa bahagiakah objek yang terkutip; seberapa terlukanya objek harus memasung senyum di lekukan bibir yang ujungnya telah terselip airmata. Oh sudahlah... Biarlah itu semua menjadi tak terdefinisi. Objek tak terjamah oleh pelupuk matamu dan lensa kamera itu.

Minggu, 07 Juli 2013

Dinginnya kamu yang tak bisa ku hangatkan

Sudah lama kamu telah ku kenal. Lebih tepatnya, kamu adalah salah satu bagian dari indahnya masa kecilku. Agaknya terlupakan sedikit dalam benakku, bagaimana wujud pertemanan kamu dan aku di masa itu. Namun bukan berarti setelah aku berjumpa lagi denganmu lagakku bagai orang yang terkena amnesia. Ya, tentu saja aku masih ingat wajahmu itu. Diantara sederet wajah yang telah nampak sejak kecil namun tak terlalu memiliki perubahan yang cukup signifikan. Cool...

Dalam sebuah pertemuan yang dirancang sederhana, berkumpullah anak-anak manusia. Muncullah kamu yang sudah lebih dulu akrab dengan yang lain. Sedangkan aku? Masih sibuk menerka-nerka wajah yang nampak di mata. Otakku ternyata masih memiliki fungsi yang cukup baik, ya mengenal sosokmu. Aku terdiam, tak mau menyapa lebih dulu. Karena sedari dulu kutanamkan dalam diriku jikalau takperlu menyapa lebih dulu orang yang belum kau pastikan benar demikian.

Setelah melalui proses yang cukup panjang, aku perlu berterima kasih pada mereka yang telah menempatkanku di bagian yang menurutku sesuai dengan bakat dan kemampuan. Menolehlah wajahku ke sosokmu. Ya, aku dan kamu di bagian yang sama. Dan kamu adalah kaptenku eh maksudnya koordinator di bagian kami. Senyum kupoles dibibir semanis mungkin namun dibalas begitu... dingin dengan tatapan yang menurutku aneh dan sedikit jengkel. Oh, Tuhan! Tak ingin kuperpanjang problem awal ini, segeralah aku duduk diantara teman-teman lain, dan berada tepat di hadapannya. Kami pun membicarakan apa yang ingin kami lakukan selama setahun kedepan. Lalu kuberilah ide beserta teknik-teknik yang perlu kita lakukan. Dan kamu mengiyakan usulku. Entah mengapa, diantara kami berenam yang dominan itu cuma aku dan kamu. Hmm, mungkin itu pulalah sebab kamu menjadikanku wakilmu(bukan pendamping) dalam setiap program yang akan dijalankannya nantinya. Tolong kalian prediksi sendiri, berada di kisaran manakah debaran jantungku? Terbang?Ya bisa jadi bisa jadi. Merona merah pipinya?Ya ya ya...

Tak perlu kuceritakan panjang kali lebar kisah selanjutnya. Karena, buru-buru kami mesti mempersiapkan segala sesuatunya untuk program yang begitu menghabiskan waktu lebih banyak untuk bersama-sama. Lagi dan lagi, Kamu menunjukku untuk bersama-sama mempersiapkannya. Gugup? Pasti. Namun kuatasi semua pra-rasa yang muncul menghujam disela-sela tarikan nafasku.

Aku menjalani waktu demi waktu denganmu. Lama rasanya aku merasakan seperti ini lagi. Namun kubiarkan saja semuanya terendam dalam angan yang tak ingin kumuntahkan dengan indah dalam dimensi nyata "kita" . Tak ingin semuanya menjadi gagal hanya karena aku lebih mengedepankan rasa yang baru muncul belakangan semenjak kamu hadir kembali. Tiap saat kamu menanyakan kesiapan semuanya, kesediaan kamu membantuku dalam menyelesaikan beberapa kesulitan yang kuhadapi, dan menanyakan dimana langkah kakiku berhenti saat itu untuk bertemu denganku. Begitu dekat. Tapi judulnya bukan seperti kisah klasik remaja seumuranku. Hanya sebatas tugas dan tanggung jawab yang diemban. Aku menikmati tiap alunan dering pesan dari kamu. Ada getaran yang berbeda menyelip diantara jemariku bila ingin membalasnya. Huft, mungkinkah?

Akhirnya, program yang kita rancang bersama pun terwujud. Bisa dibilang, program kali ini masih mengandung keinginan berlibur yang terselubung. Haha... Perjalanan pun dimulai. Menelusuri jalan menuju ke tempat yang dituju itu sebenarnya membosankan, akan tetapi ada efek kenyamanan tersendiri manakala kamu juga ada. Beberapa teman mengutip gambar, aku pun turut ikut. Anehnya, aku bosan sendiri dengan pengambilan gambar yang tiada akhir itu. Maklumlah perempuan, hobi mengutip gambar!-_-v Aku duduk di ujung tapi tak terlalu depan, sedangkan kamu berada diseberang kursi yang kududuki. Lumayanlah, melihatmu bisa mengurangi kepenatanku selama diperjalanan*eh

Bisa kubilang, ini adalah salah satu bagian yang paling menarik selama perjalanan sekaligus langka untuk kusaksikan. Tingkahmu yang konyol dan berbanding terbalik 360 derajat dari sikapmu yang begitu dingin, cuek, dan tampak berwibawa. Haha, mungkin yang tertawa itu pasti berfikir apa yang sedang rusak dalam sistem sarafmu, termasuk aku. Kamu berpindah ke posisi disamping kursiku, hanya setelah aku pindah lebih dulu dibelakang teman-teman yang lain. Tidur akhirnya pilihan yang kulaksanakan atas perintah otak yang telah didemo oleh bagian tubuhku yg lain agar segera menyuruhku beristirahat. Tak dirasa, kami pun sampai ke tempat tujuan...

Aku berbincang-bincang sedikit denganmu sebelum kamu putuskan untuk ke atas dan rehat sejenak di tempat yang telah disediakan. Butuh waktu 30Menit untuk merelaksasi otot-otot sebelum kami tunaikan kewajiban. Lagi-lagi aku takperlu menceritakan lebih rinci bagian ini. Karena kalian pun pasti sudah bisa menebak apa selanjutnya. Ya, apalagi? Aku dan kamu semakin akrab...
Kali ini aku kurang begitu melihat dengan jelas senja di sabtu itu. Mungkin sebabnya jingga senja disore itu berpindah ke wajah yang selalu kutatap begitu hati-hati;takut tertangkap basah oleh dua bola matamu. Oh, aku memilih diam dan mengalihkan perhatian mereka bilamana bertanya sehubungan kedekatan yang begitu lain daripada yang lain antara kamu dan aku. Tuhan, kalaupun mereka sudah bisa membaca dengan jelas sebab gerak-gerikku selama ini, kumohon agar dia(Kamu) tak tau.

Aku tidak mengerti, apakah dinginnya yang kurasa itu berkaitan lokasinya yang merupakan daerah pegunungan, atau akibatnya aku disampingmu. Kamu tak seperti yang kebanyakan ku kenal. Mereka melabeli kita dengan berbagai macam, namun kamu memilih tuk mengabaikannya dengan cara pura-pura tidak paham. Bertanya seperlunya dan sewajarnya sesuai konteks kedekatan, menjawab ala kadarnya sesuai porsi yang disediakan; itulah kamu. Selebihnya? Tak ada yang perlu untuk dipertanyakan/ ataupun dijawab... Setelah semuanya selesai, kami menghabiskan malam dengan nonton bareng film yang pernah populer. Detik demi detik kusambut tanpa kulewatkan tuk mencari sosokmu selalu. Bila telah kudapatkan, baru ku alihkan dengan aktivitas lain agar tidak menjadi curiga olehmu.

Senang itu sepaket dengan sedih. Bagaimanapun senangnya perasaan toh berbanding lurus dengan kesedihan. Ya, tepat sekali. Sejatinya, aku tak menginginkan ini semua ku tau disaat senang menghampiri kedekatanmu denganku. MENGAPA??? Perjalanan pulang mesti kulewati dengan sejumlah tanda tanya dan ketidaknyamananku pada kenyataan yang mesti kuterima. Kamu, yang tadinya akrab denganku lambat laun menjauh seiring berakhirnya program yang telah kita selesaikan. Kenyamanan yang disodorkan padaku saat dekat denganmu membuatku lupa untuk mempersiapkan diri agar tidak perlu menyeka airmata dengan tisu saat semuanya berakhir. Ya, aku lupa untuk itu. Sedikit tetesan airmata lebih dulu meluncur tatkala melihatmu yang tidak lagi "punya waktu" hanya untuk sekedar bertanya seperti dulu...

Agaknya dari sikapnya itu aku perlu belajar. Jikalau taksemua makhluk sepertimu mudah luluh dengan berbagai perhatian yang telah disuguhkan olehku dengan tulus. Aku juga perlu menancapkan peringatan diantara rasa-rasa yang kini tumbuh menjadi pohon yang siap membuahkan kebahagiaan nantinya untuk tidak pernah berharap pada sosok sepertimu. Pemilik bola mata yang menatap layaknya suhu dikutub utara. Senyum yang jarang dipoles hanya untuk sekadar dinikmati oleh orang-orang disekitarmu. Sayangnya, sedikit terlambat bagiku untuk sadar dengan semua itu. Awalnya, ku kira wujud dinginmu kan meleleh dengan hangatnya tulus perhatianku. Kecuekanmu tak lagi kamu sematkan manakala aku telah ada dan siap siaga bak siskamling. Ah, rasanya ingin kubuang semua rasa itu depanmu dengan rapi dalam bungkusan kisah yang kuharap nantinya bisa terlabel "kita". Sakit. Aku terluka dengan semua kepalsuan yang menyelimuti keakraban semu "kita", dan kamu tak tau itu...

Sabtu, 09 Maret 2013

Sepucuk bacaan untuk kau pahami

Agaknya cuaca kali ini seperti mengulang kisah-kisah kemarin. Enggan mengguratkan keindahan senja, condong menitikkan hujan yg amat deras, dan hirup kehangatan yg berganti oleh dinginnya sore. Aku duduk diantara sejuta pikiran dan kebingungan yang baru saja bertamu. Mereka sepertinya tau, kali ini layaklah mereka aku selesaikan satu demi satu setelah rutinitasku kujalankan. Sabar, gumamku. Kalian akan terjamah olehku dalam waktu senggangku saat ini. Mari kujabat kehendak kalian dengan baik.

Dan tak kusangka, soreku kali ini harus sedikit merembes dinginnya begitu aku menjabatmu dalam fikirku. Lama sudah. Meski hanya dalam dimensi khayalan? entah. Mungkin karena sibuknya waktu memutarku dalam rutinitas yang mesti kujalani, membuatmu sedikit terabaikan. Sedikit? ya itu kata yang tepat. Sesuai dengan kadarnya. Muncullah keinginanku untuk mencari kabarmu. Sebatas itu. Untunglah, social media yang semakin canggih mampu membantuku. Dan alhasil, aku menemukanmu. Maksudnya, menemukan kabar kamu di salah satu socmed yang kugunakan. Lincahlah aku melirik satu demi satu uraian yang kau ukir disetiap waktumu.

Rindu. Mungkinkah? Aku lebih menamakannya dengan kata "penasaran" . Ya, penasaran ingin tau kamu seperti apa... sekarang. Masihkah sosokmu layak kutangguhkan dalam benakku seperti dulu, disaat aku mengenakan kata "kita" disetiap percakapan? Oh, biarkan aku bergumam sejenak. Menelaah setiap kehendak jiwa yang tersemai dalam diri seumuran kita. Tapi, sepertinya aku harus buru-buru membuyarkannya. Berubahkah kau? Kuharap demikian. Berubah menjadi dewasa. Tak seperti seusiamu yang masih terus mengejar rasa keingintahuanmu tanpa menyelipkan kata waspada dalam setiap tindak lakunya. Dan kaupun harus tau, aku belajar untuk itu. Berusaha untuk membenamkan semua keingintahuanku akan rasa yang timbul diusia saat ini.

Bukannya aku ingin disanjung atas apa yang aku hendak jalani. Bukan pula ingin dicecar dengan kalimat "kamu terlalu berlebihan. Jalani saja seperti air yang mengalir". Tapi, keadaanlah yang mendewasakan semua apa yang kufikirkan. Bahwa tak sepatutnya aku harus menjawab segala rasa keingintahuanku dengan mencobanya. Hidup memang mesti dinikmati, karena masa tak akan mengulang untuk kedua kalinya, katamu. Tapi, agaknya aku meragukan. Mestikah semua itu harus kunikmati? Nampaknya tidak.

Kau kemudian menemuiku. Dalam sebait pesan yang kau kirim untuk kubaca dan kupahami. Aku bingung. Menemuimu? Aku belum siap. Bukan tak siap melihat sosokmu yang begitu membuatku penasaran, tetapi... selayaknya kau tau. Kita belum pantas, untuk bertemu. Berdua, sebab ada sekat yang kita yakini bersama. Aku bukannya mencari alasan, tapi itu yang perlu kau pahami. Akupun tau, ternyata kamu masih menjadikan aku sebagai ratu pengendali fikiranmu. Begitu juga denganku yang akhirnya sadar kalau kamu memang layak untuk kuperjuangkan menjadi Raja di istana hatiku. Dengan sebab rasa yang sama, membuat kenyataan tak semestinya mengawali perjumpaan kita terlebih dahulu. Aku tak ingin, nantinya setelah kita berjumpa. Akan ada sebuah status dengan sebuah hubungan yang dilazimkan oleh masa kita, ataupun hanya sebuah hubungan tanpa status yang pasti. Apapun itu.

Kuharap kau mengerti, mengapa aku lebih memilih untuk menyematkan kata "nanti saja" di balasan pesanmu. Ada sebait doa yang terselip dibalik kata "nanti saja" yang kukirimkan itu. Nanti saja, bila Tuhan telah mengizinkan untuk kita berawal dari titik yang sama dan berjalan menghadapi segala bentuk rintangan dan ujian tanpa terpisahkan. Kolot?bukan. Namun, melihat realita yang sepertinya membuatku takutlah yang lebih tepat. Berlebihan? oh tidak. Itu sudah sewajarnya. Iya, sudah sewajarnya kulakukan demi menyelamatkanmu. Menyelamatkan dirimu seorang, yang kukagumi dalam diamku. Atas apa yang terjadi saat ini, membuatku berfikir dewasa. Bahwa segala sesuatunya yang berkaitan dengan "aku menyayangimu" tak perlu diimplementasikan ke dimensi yang belum bisa diwujudkan. Aku menyayangimu, ya sebatas itu. Tak perlu kita saling memanggil dalam indahnya kata-kata sayang, menggenggam tangan, hingga melakukan yang tidak semestinya. Begitulah caraku menyayangimu. Mungkin sedikit berbeda dengan caraku dulu, namun ini nampaknya baik untuk kita.

Jalanlah kita masing-masing terlebih dahulu. Kau dengan harapanmu, dan aku dengan impianku sendiri. Cukup mengawetkan komitmen kita untuk saling menjaga kepercayaan masing-masing hingga melepasnya dalam bentuk kebersamaan. Bila kau rindu, dekaplah aku dalam hangatnya doa yang kau panjatkan pada Tuhan. Akupun akan melakukan hal yang sama. Sampai akhirnya waktu mengantarkan kita pada sebuah tempat untuk kita berteduh bersama. Tanpa perlu memikirkan kita pantas melakukannya atau tidak. Karena telah melegalkan bentuk kasih sayang yang semestinya kita lakukan. Kuharap kau mampu bertahan. Sabarlah sedikit, sayang. Jika kau mampu bersabar untuk itu, artinya kau telah memelukku dalam sayang yang telah kuguratkan dengan cara yang berbeda.

Jumat, 22 Februari 2013

Menunggu waktu menjawab "kau"

Tak pernahkah kau membayangkan bagaimana rasanya menunggu? Atauhkah kau mungkin pernah merasakan lelahnya menunggu? Begitupun dengan aku. Yang selalu saja menunggu sesuatu yang tak pasti. Menunggu sosoknya kembali lagi disampingku. Kau takkan mungkin dan takka pernah memikirkan lelahnya aku menunggu. Aku mencoba pergi dari waktu yang tidak jelas ini. Namun baru selangkah, bayanganmu kembali menarik ulur hatiku. Hingga aku putuskan tuk mendudukkan kembali hati dan fikiranku di tempat ini.

Detik demi detik hanyalah penantian yang sia-sia. Entah sudah berapa tetes buliran airmata ini keluar. Entah sudah berapa banyak yang menyuruhku tuk pergi dari sini. Namun ku abaikan begitu saja. Entah sudah bagaimana lagi sakitnya luka yang tak kunjung kering ini. Bila saja aku dapat berbincang dengan waktu, sekaligus memohon padanya, aku akan berkata:
"Waktu, untuk berapa lama lagi aku harus disini? Haruskah aku menghentikan semua aktivitasku saat ini kemudian bergegas pergi? Ataukah aku terus menanti hingga senja tiba dan dia datang untukku?

Diary torehan luka..darimu

Aku selalu terjatuh, namun tak pernah lupa untuk bangkit. Namun ketika jatuh saat sosokmu ada, disampingku dan menatapku dalam-dalam, juga senyum yang takpernah lepas dari bibirmu. Aku lupa jikalau aku harus bangkit.

Menikmati sakitnya luka karena jatuh dan merasa ditangkap olehmu. Namun kenyataannya, itu hanyalah bayang semu yang mewakilimu disini. Kemudian kau pergi, meniadakan semua yang pernah ada, dan tentu saja... kau berhasil memecahkan tembok pertahananku. Memecahkan kumpulan airmataku. Menyakitkan...

Aku menangis keras layaknya anak kecil yang terjatuh ketika mengayuh sepedanya. Namun, luka yang kau torehkan cukup menyakitkan. Terjatuh dalam jurang yang begitu dalam, sakit, dan begitu menyedihkan. Semua itu kurasakan, sendiri...

Namun, aku sadar. Waktu takkan pernah berhenti untuk menungguku yang masih saja terpuruk dalam kesakitanku ini. Untuk itu, aku bersihkan luka yang menyayat ini, dan begitu selesai aku bersihkan, aku menutup pintu hatiku. Berharap tak ada lagi yang masuk memporak-porandakannya begitu saja tanpa membersihkannya sebelum pergi.

Rabu, 20 Februari 2013

I miss the moment when Rainy come here

Hujan...
Aku selalu menyukainya. Bila waktu kecil aku menikmati hujan karena setelah hujan akan ada pelangi yang keindahannya akan nampak. Kini, aku selalu menikmati hujan bila turun, bahkan selalu menunggu rintik-rintik air hujan itu. Karena disaat itulah aku kembali mengingatmu, juga sembari membasuh rinduku.
Ingatanku tak akan pernah hilang, dan takkan pernah lupa jikalau aku dan kamu yang dulunya menjadi "kita" pernah menikmati hujan bersama. Disaat itu, aku meninggalkan pekerjaanku sebagai penyambut senja, karenamu. Karena aku berfikir, menikmati hujan bersamamu itu momen yang langka, bahkan hanya bisa kurasakan saat itu juga. Hujan juga tidak bisa memastikannya. Dan ternyata itu benar.
Meski hanya sekali saja, itu sudah cukup mengambil tempat difikiranku. Hingga memaksa otakku untuk terus mengingatnya. Sayangnya,kini... Aku kembali menjadi penyambut senja dan menjadi pengintip hujan dibalik jendela. Semenjak kamu tak ada, keinginanku untuk menikmati hujan tidak ada lagi.

Halte Penantian

Aku selalu berdiri disini, mematung, hanya sekali melirik kanan-kiri untuk memastiksn kehadiran sosokmu, dan itu hanyalah sia-sia bagiku. Detik terus berganti ke detik berikutnya, dan berharap di detik kesekian kalinya aku menghitung, kau telah berdiri tegap disini. Tentu saja sosok nyatamu yang ku maksud. Bukan bayang semu kamu yang selalu saja hadir di setiap malam pengantar tidurku. Seolah-olah mimpi itu terasa nyata, namun itu tetaplah mimpi. Hujan mungkin saja sudah bosan melihatku disini sembari merintikkan tetesannya untuk menjadi teman buatku. Semoga saja lelah tidak menghampiriku lebih dulu. Bila itu terjadi, aku memastikan diriku takkan lagi disini. Ku harap kau takkan pernah melupakan janjimu untuk menjemputku di halte penantain yang membuatku tak nyaman ini. Pastinya setelah kau ditegur dengan lembut ataukah tangan Tuhan yang memegang relungmu dan mempertemukan kita (lagi)...

Kepergian Seorang Guru layaknya Ayah.

Namanya Bapak Abdul Halim Syam. Tapi kami lebih sering menyapanya dengan panggilan "Pak Halim". Beliau lahir pada tanggal 2 Mei 39tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1974. Bila kita melihat sepintas, yang terbayang dari sosok beliau adalah sosok yang tegas,keras, kejam, dan pokoknya apapun yang selama ini mereka fikirkan tentang beliau. Awalnya kami pun berfikiran yang sama. Namun semuanya berubah ketika beliau masuk dikelas kami untuk pertama kalinya.

Pertama kali beliau masuk untuk mengajar di kelas kami, kami begitu gugup, takut jikalau apa yang selama ini kami fikirkan benar-benar terjadi. Nyatanya, perangai beliau berbeda 180 derajat dari apa yang kami gambarkan di fikiran kami masing-masing tentang beliau. Beliau begitu baik, bahkan begitu heran melihat kami yang pada waktu itu menundukkan muka. Maka berkatalah beliau "santai saja kalau di dalam kelas. Saya tidak makan orang".

Waktu terus saja berjalan. Dan kami pun menikmati betapa enaknya kami diajar oleh beliau. Entah karena materi yang beliau sampaikan adalah "sosiologi" sehingga cara mengajarnya seperti melakukan pendekatan, ataukan pembawaan dari beliau yang nyatanya demikian. Cara mengajarnya pun selalu disisipkan gurauan atau hanya sekedar ejekan yang menurut kami lucu. Tak jarang beliau memberikan kami nasehat dan motivasi layaknya seorang ayah pada anaknya. Terkadang, nasehatnya itu disiratkan oleh apa yang beliau alami di masa seperti kami. Begitu juga petuah-petuah yang baik agar kami tidak salah langkah dalam menjalani kehidupan kami sekarang dan nantinya. Like a father. teach and keep us always.

Dalamnya rasa sayang beliau pada kami, begitu juga sebaliknya membuat kami merasakan bahwa separuh nafas kami juga karena beliau.Kami begitu dekat. Tak sedikit yang mengatakan kepada kami jikalau dengan kami-lah beliau begitu. Bahkan ada yang takpercaya begitu kami menceritakan betapa nyamannya kami bila beliau ada ditengah-tengah kami.

Sehebat apapun manusia, ia akan menyerah juga dititik terakhirnya. Begitu pula dengan beliau. Karena sakit yang menggerogotinya sehingga beliau harus menyerah pada sebuah takdir. Takdir dimana kami harus percaya bahwa segala sesuatu yang diciptakan akan kembali pada sang penciptanya. Kami seperti tak percaya dengan apa yang terjadi sebulan yang lalu, tepatnya 20 Januari 2013 yang lalu. Menghembuskan nafasnya untuk terakhir kalinya membuat luka yang begitu menyedihkan bagi kami. Kami telah kehilangan. Ya, kehilangan beliau. Beliau yang merupakan pendidik kami, ayah kami, juga sahabat kami. Tawa dan gurauan canda yang beliau semburkan pada kami tinggallah guratan senyum simpul yang diujungnya tersimpan memoar kesedihan. Semuanya terjadi begitu cepat. Ketidakpercayaan kami pada apa yang terjadi begitu memberi tanda tanya besar atas kepergiannya. Bukannya kami melawan takdir. Hanya saja, 5hari sebelum beliau pergi, tepatnya di hari Selasa, kami masih sempat melihat riak tawanya dan tetap menyuguhkan kami nasehat dalam kebata-bataannya. Beliau telah pergi. Terkuburlah jasadnya yang begitu kuat, tak pernah menyerah, dan pribadi yang selalu menegakkan kebenaran.

Hujan hari ini layaknya sebulan yang lalu. Aku sempat berfikir dan bertanya dalam hati. Mungkinkah deras hujan hari ini pertanda langit masih melihat kesedihan yang mendalam dari hati kami? Aku tak bisa menjawabnya. Tampaknya tetes demi tetes yang turun begitu derasnya dari langit seperti mewakili airmata kami yang tak ingin dinampakkan. Kami tak ingin, beliau disana melihat kami bersedih atas kepergiannya. Bukankah ratapan dan belum bisa melepaskan bisa membuat beliau disana merasa tak tenang?

Assalamu alaikum Yaa Ahlal Kubur, akan kami ucapkan begitu kami tiba di tempat terletaknya jasadmu, kuburan. Akan kami lantunkan terus Surah Annur, ayat 35, yang merupakan ayat kesukaanmu, pak. Semoga Engkau disana tenang di tempat yang selayaknya kau tempati atas apa yang Engkau lakukan pada kami dengan begitu baik. Dan jangan lupa sampaikan keinginanmu pada sang Pencipta bahwa Engkau ingin melihat kami sukses. Begitu pula dengan keluargamu. Semoga ketabahan dan ketegaran selalu mengiringi langkahnya tanpamu.





20 Februari 2013

Tulisan seorang murid dan anak atas memoar kehilangan guru dan sosok ayahnya.

Senin, 18 Februari 2013

Terguyur hujan kenangan tanpamu

Diantara senyap hujan yang terus mengguyur. Membasahi kenangan yang tertutup debu. Aku masih duduk dalam kenyamananku merindukanmu. Merindukanmu? Oh iya aku merindukanmu. Dalam tenangku, tanpa tergesa-gesa mendesak waktu untuk mempertemukan kita. Menikmati alunan melodi sepi yang menyusuri langkah demi langkah perjalananku, Menari dibawah hujan diikuti nyanyian damai yang menghujam ingatanku. Mengolah satu demi satu kata yang terbersit dalam ingatanku tentang hujan. Hujan yang menghiasi kisah kita... dulu.

Masihkah kau ingat bagaimana kita menyikapi tetes demi tetes air hujan yang turun? Bagaimana tak berpengaruhnya dingin yang berusaha membekukan kisah kita. Namun kau membuatnya begitu hangat. Meski bukan dalam artian dekapan yang kau simpulkan padaku secara langsung, namun aku tau jikalau hangatnya karena doamu mendekap banyak jawaban yang membuatku sedikit resah. Kau juga mengajarkanku bagaimana menghitung gemercik air hujan yang turun hingga saatnya kau datang dan aku berhasil melakukannya. 

Ingatanku juga masih basah akan kebersamaan kita melewati waktu dengan hujan yang menyusup dalam celah-celah. Kita tak menghentikan laju hanya karena hujan, tetapi terus melanjutkannya karena pada akhirnya aku baru sadar jikalau basahnya diri dalam hujan itu tak akan mengeringkannya dalam ingatan. Jadilah kita basah kuyup dalam kenyamanan hujan yang tersaji bersama dengan rindu yang tak henti mengalir.

Namun kini semuanya hanyalah kenangan. Hujannya masih ada disini, mengawetkan bait demi bait kisah yang telah usai namun rasanya masih kunjung dapat dikecap. Kamu telah pergi, meninggalkan jejak injakan luka yang belum hilang.